Ada tiga alat yang digunakan dalam Jemparingan, yakni gendewa atau busur, jemparing atau mata panah dan target berupa wong-wongan.
Adapun gendewa terbuat dari kayu pilihan, sedangkan jemparing dibuat dari bambu petung dan untuk wong-wongan berbahan jerami atau batang padi.
Wong-wongan ini semacam bandul putih dengan cat merah di ujung atas dengan penanda lonceng di ujung bawahnya. Jika penjemparing mengenai target maka lonceng tersebut akan berbunyi.
BACA JUGA :
Tradisi Yasinan, Amaliyah Warga NU untuk Menumbuhkan Kepekaan Sosial
Agung Sumedi salah satu anggota Komunitas Jemparingan Jogyayakarta mengatakan, dalam Jemparingan, para pesertanya menggunakan pakaian adat dan memakai udeng yang disimbolisasi menjadi mudheng atau paham terhadap apa yang tengah dilakukan.
Sedangkan target yang dibidik menjadi simbol yang menggambarkan diri sendiri. Para penjemparing mestinya sadar dan fokus terhadap sasaran berwarna putih yang menjadi diri yang utuh layaknya manusia bermartabat. Sedangkan merah dalam bandul dilambangkan sebagai hawa nafsu.
Posisi duduk pun melambangkan bahwa meski sedang berolah raga, sesungguhnya Jemparingan adalah wahana olah rasa. Dimana ketika berada dalam posisi duduk adalah tataran laku tertinggi yakni meneb atau laku waspada dalam diam.
BACA JUGA :
Kisah Mualaf Cantik Amira, Gadis Keturunan China yang Takjub dengan Ajaran Islam
“Tidak ada pemenang dalam Jemparingan. Ini olahraga untuk menambah sedulur (saudara),” kata Agung.
Agung Sumaedi yang juga Maestro Jemparingan ini berharap bahwa olahraga kuna asli Jawa ini juga dilestarikan oleh para anak muda agar nantinya tidak punah. Dia juga berharap Jemparingan bisa dilestarikan di Kabupaten Demak.
“Jemparingan tidak hanya olahraga tapi juga olah rasa. Jemparingan juga sebagai sarana silaturahmi, budaya dan rekreasi ketangkasan,” ujar Agung.
Editor : Pipit Widodo
Artikel Terkait