Perjalanan perempuan di Indonesia cukup panjang, mulai diposisikan pada ranah domestik karena kodratnya, sebagaimana dikenal 4 M yaitu: menstruasi, menyusui, mengandung, dan melahirkan. Hingga ketika Indonesia masuk pada era pembangunan pada masa Orde Baru yang kemudian dikenal dengan istilah ‘peran ganda’ perempuan. Selain perempuan masih mengurusi masalah domestik juga dituntut membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di luar.
Setelah melakukan analisis terhadap sejumah cerita rakyat Jawa, Harjito mengambil kesimpulan bahwa Perempuan bukanlah subjek yang pasif seperti yang menjadi gambaran stereotip. Perempuan bukanlah subjek yang lemah, tetapi merupakan subjek yang memiliki banyak kekuatan dan kekuatan itu dapat ditampilkan atau disembunyikan.
Karena relasi selalu berkaitan dengan pihak lain, maka sangat diperlukan kepedulian dan pelibatan pihak lain, dalam hal ini pihak lelaki. Dengan demikian, diperlukan negosiasi, perlunya penyelarasan baik dari perempuan maupun lelaki bahwa relasi tersebut tidak untuk mencari menang-kalah, bukan dalam pendekatan konfrontatif atau siapa yang lebih mendominasi atau tersubordinasi, tetapi rembugan– membangun-menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan untuk mendapatkan harmoni atau keselarasan dalam cara pandang saling menghargai–bukan saling menyakiti.
"Dalam segitiga PKK (perlawanan-kesetiaan-kebahagiaan), saya lebih sepakat pada tujuan kebahagiaan dalam keluarga adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan hal yang utama dalam keluarga. Karena itu, saya menyebut bahwa perempuan adalah Perempuan-Kolaboratif, perempuan merupakan subjek penting yang memiliki banyak pilihan untuk berkolaborasi dengan lelaki. Sementara itu, lelaki perlu menjadi Lelaki-Legawa, lelaki yang memiliki kesadaran dalam menerima pasang surut perubahan," ungkap Prof Harjito.
Editor : Setia Naka Andrian
Artikel Terkait