Namun, meski teknologi ini menawarkan banyak keunggulan, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah fenomena epimerisasi katekin menjadi isomer-isomer seperti theaflavin. Fenomena ini dapat terjadi karena kondisi operasi pengering yang relatif tinggi. Untuk mengatasinya, proses pengeringan sebaiknya dilakukan pada temperatur dan kelembaban relatif yang rendah.
Prof. Eflita menyarankan penggunaan dehumidifikasi udara dengan liquid desiccant calcium chloride (CaCl2) yang didispersikan dengan nanopartikel CuO. Metode ini dapat menurunkan kelembaban udara dari 60% RH menjadi sekitar 30% RH, sehingga meningkatkan efisiensi proses pengeringan dan kualitas produk akhir.
Dalam uji coba yang dilakukan di Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung di Bandung Selatan, teknologi pengering vibro nano dehumidifikasi menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Mesin ini mampu menghasilkan teh hijau dengan kadar air sekitar 2-3%, serta kandungan katekin yang tinggi dan stabil.
Dengan adanya teknologi pengering vibro nano dehumidifikasi, diharapkan tantangan dalam pengeringan teh hijau dapat teratasi. Prof. Eflita dan timnya optimis bahwa teknologi ini dapat membantu industri teh hijau di Indonesia untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi produksi, sehingga meningkatkan daya saing di pasar global.
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait