SEMARANG, iNEWSDEMAK.ID - Baru-baru ini, Kementerian Agama mengusulkan agar anak-anak sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA diliburkan selama satu bulan penuh di bulan Ramadan. Usulan ini memicu kekhawatiran para orang tua karena anak-anak berpotensi menghabiskan lebih banyak waktu bermain gawai tanpa pengawasan yang memadai.
Meski akhirnya pemerintah hanya memberlakukan libur pada awal dan akhir Ramadan, kegelisahan ini menunjukkan bahwa risiko penggunaan media sosial dan internet oleh anak-anak perlu mendapat perhatian lebih serius.
Literatur menunjukkan bahwa penggunaan gawai, internet, dan media sosial memiliki dampak signifikan bagi anak-anak dan remaja. Mereka lebih rentan karena belum memiliki kemampuan mengambil keputusan secara sadar dan memahami risiko yang mengancam.
Oleh karena itu, peran orang dewasa di sekitar mereka sangat penting untuk menjadi bagian dari sistem perlindungan yang lebih luas, dengan dukungan dari pemerintah serta penyedia platform digital.
Ancaman Media Sosial bagi Anak dan Remaja
Beberapa risiko yang mengintai anak-anak dan remaja di media sosial meliputi:
- Paparan terhadap pornografi dan predator digital
- Penipuan serta penyebaran hoaks, misinformasi, dan disinformasi
- Kebocoran data pribadi
- Kerentanan terhadap konten radikal dan intoleransi
- Masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecanduan media sosial
Penelitian yang dilakukan sejak kemunculan Facebook tahun 2004 hingga 2025 menunjukkan bahwa pengguna media sosial rentan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti perasaan tidak nyaman dengan diri sendiri dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain. Fitur filter yang lazim digunakan di media sosial menciptakan standar kecantikan dan ketampanan yang tidak realistis, menyebabkan tekanan sosial yang tinggi, terutama pada anak-anak dan remaja.
Urgensi Regulasi Ketat untuk Akses Media Sosial
Untuk mengurangi risiko tersebut, pemerintah perlu menerapkan regulasi yang lebih ketat terkait akses media sosial bagi anak-anak dan remaja. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
a. Regulasi pengetatan usia akses media sosial, misalnya dengan mewajibkan pendaftaran menggunakan KTP, sebagaimana diterapkan pada layanan keuangan digital seperti OVO, Dana, dan Gopay.
b. Penggunaan parental permission bagi pengguna di bawah 17 tahun, sebagaimana diterapkan pada sistem Google.
c. Pengaturan bagi sekolah untuk tidak mengekspos informasi pribadi anak di media sosial, termasuk tugas atau lomba yang mensyaratkan perolehan "likes" sebagai indikator keberhasilan.
Usia Minimal Akses Media Sosial di Luar Negeri
Beberapa negara telah menerapkan batas usia minimal bagi anak-anak untuk mengakses media sosial dengan kebijakan yang bervariasi. Norwegia, Yunani, dan Perancis menetapkan usia minimal 15 tahun untuk menggunakan media sosial tanpa pengawasan orang tua. Sementara itu, Australia, Inggris, Korea Selatan, dan Uni Eropa (meskipun negara anggotanya dapat menerapkan aturan berbeda) menaikkan batas usia akses menjadi 16 tahun.
Selain itu, ada pula negara yang menerapkan kebijakan dengan persetujuan orang tua bagi anak di bawah usia tertentu. Jerman, misalnya, mewajibkan persetujuan orang tua bagi anak berusia 13 hingga 16 tahun yang ingin menggunakan media sosial. Kebijakan serupa diterapkan di Italia bagi anak di bawah usia 14 tahun, serta di India bagi mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun.
Cina menerapkan aturan yang lebih ketat dengan membatasi durasi penggunaan internet bagi anak-anak. Anak usia 8 hingga 15 tahun hanya diperbolehkan mengakses internet selama satu jam per hari, sedangkan anak usia 16 hingga 18 tahun diberi waktu maksimal dua jam per hari. Selain itu, akses internet dilarang pada pukul 22.00 hingga 06.00 untuk seluruh anak di bawah usia 18 tahun.
Beberapa negara, seperti Singapura dan Jepang, kini tengah mempertimbangkan langkah serupa setelah Australia memperketat batas usia akses media sosial. Indonesia pun perlu segera mengambil langkah serupa agar anak-anak terlindungi dari bahaya media sosial yang tidak diawasi dengan baik.
Literasi Digital sebagai Solusi Jangka Panjang
Selain pengetatan regulasi, pemerintah perlu menggencarkan program literasi digital. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat bermitra dengan kementerian lain, seperti Kementerian Perlindungan Anak dan Perempuan, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Kolaborasi ini penting untuk membangun pemahaman yang lebih luas tentang risiko digital bagi anak-anak dan remaja.
Sejak tahun 2020, Komdigi telah berupaya meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia. Namun, dengan meningkatnya urgensi isu ini, diperlukan langkah yang lebih progresif dan berbasis pada kebutuhan spesifik tiap kelompok masyarakat. Harapan besar ada pada pemerintahan pusat yang baru serta jajaran kepala daerah yang akan segera dilantik agar bersama-sama mendorong kebijakan yang melindungi generasi muda dari ancaman dunia digital.
*) Nuriyatul Lailiyah
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro
Mahasiswa Doktoral Goethe Universität Frankfurt am Main
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto
Artikel Terkait