JAKARTA - Ida Ruwaida, sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), menjelaskan setidaknya ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren.
Pertama adalah kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik.
Menurutnya, budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kyai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model.
Kepatuhan kepada kyai pun menjadi bagian yang ditanamkan, sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa.
"Para santri mengedepankan kepatuhan karena muncul keyakinan (belief) bahwa sang kyai merupakan “wali Tuhan” di muka bumi. Cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang Tokoh, dan cenderung otoriter,"ujar Ida dikutip dalam keterangan tertulisnya, Minggu,(18/09/2022).
Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran.
Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk punishment bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera.
"Namun, yang sering terjadi justru punishment lebih dikedepankan daripada unsur pendidikannya. Artinya, hikmah hukuman tidak dipahami santri, termasuk hakikat dan fungsi/manfaat ditegakkannya aturan. Dengan kata lain, para santri mengikuti aturan bukan karena menyadari dan menginternalisasi (menghayati) arti penting aturan, melainkan karena takut pada hukuman yang diterima jika melanggarnya," tuturnya.
Faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan.
Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan.
"Oleh karena itu, perlu ada edukasi kepada seluruh multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orangtua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis," kata dia.
Salah satunya ditandai dengan spirit bahwa pesantren merupakan area yang menolak kekerasan, apa pun bentuknya.
Faktor terakhir pemicu kekerasan di lingkungan pesantren adalah minimnya pemahaman tentang keberagaman. Pesantren bukanlah area yang homogen.
Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam.
"Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri. Perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai 'cross cutting affiliation'. Dengan demikian, keberagamaan dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren," katanya.
Dengan demikian, Ida meminta agar pemerintah perlu meninjau pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren.
Sebab pesantren berfungsi mendidik, melindungi, mengayomi, dan memberdayakan santri, bukan memanfaatkan, apalagi mengeksploitasi.
Pengelola pesantren kata, Ida juga perlu paham bahwa santri masih tergolong anak-anak (12-19 tahun) sehingga hak-hak anak perlu dihargai, dipenuhi, dan dilindungi.
"Perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi karena aparat negara dan masyarakat terkadang segan dan enggan pada figur kyai," kata dia.
Editor : Setia Naka Andrian