SEMARANG, iNewsDemak.id - Tanggal 15 - 19 Oktober 1945, memiliki catatan sejarah penting di Kota Semarang karena terjadinya Pertempuran Lima Hari antara rakyat Indonesia melawan Tentara Jepang. Peristiwa ini memiliki akar penyebab yang sangat signifikan.
Dilansir dari wikipedia, pertempuran ini bermula dari tawanan Jepang yang melarikan diri saat akan dipindahkan dari Cepiring ke Bulu. Setelah kaburnya tawanan Jepang, Tentara Jepang melancarkan serangan mendadak kepada warga sipil, bahkan beredar kabar mereka telah mencemari cadangan air minum warga Semarang dengan racun.
Untuk memastikan kebenaran kabar tersebut, dr. Kariadi melakukan uji laboratorium. Namun, tragisnya, dr. Kariadi ditembak oleh Tentara Jepang, yang memicu kemarahan rakyat Semarang hingga terjadinya pertempuran. Sebagai penghormatan terhadap dr. Kariadi yang gugur pada usia 40 tahun, namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Kota Semarang.
Kronologi peristiwa ini dimulai pada 1 Maret 1942, ketika Tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Tujuh hari setelahnya, pada 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Tentara Jepang. Sejak saat itu Indonesia pun diduduki Tentara Jepang.
Tiga tahun kemudian, pada 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Momen ini mengguncang tatanan dunia, dan dalam kekosongan yang tercipta, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Pemicu utama terjadinya pertempuran ini adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu. Namun, di tengah perjalanan para tawanan ini melarikan diri, bergabung dengan pasukan Kidō Butai di bawah Jenderal Nakamura dan Mayor Kido. Pasukan Kidō Butai, yang berjumlah sekira 2.000 orang dikenal karena keberaniannya. Mereka bergabung dengan pasukan Kidō Butai di Jatingaleh untuk mencari perlindungan.
Pada 14 Oktober 1945, pasukan pemuda dari rumah sakit mendapat instruksi untuk memeriksa kendaraan Jepang yang melintas di depan RS Purusara. Mereka berhasil menyita kendaraan milik Kempetai dan merampas senjata dari Tentara Jepang.
Namun sore harinya, Tentara Jepang melancarkan serangan mendadak dengan senjata lengkap dan merampas delapan anggota Polisi Istimewa yang sedang menjaga sumber air minum warga di Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidō Butai di Jatingaleh.
Kabar menyebar bahwa Tentara Jepang telah mencemari reservoir tersebut dengan racun. Akibatnya, terjadi kekhawatiran di kalangan warga Semarang, karena cadangan air di Candi, Desa Wungkal, adalah satu-satunya sumber air minum di Kota Semarang.
dr. Kariadi, sebagai Kepala Laboratorium Purusara (kini RSUP dr. Kariadi), berniat memastikan kebenaran kabar tersebut. Namun, dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda, mobilnya dicegat oleh Tentara Jepang di Jalan Pandanaran. dr. Kariadi dan tentara pelajar yang mengemudikan mobilnya ditembak secara keji. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan.
Pertempuran berhenti setelah Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro dan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berunding dengan komandan Tentara Jepang. Proses gencatan senjata dipercepat ketika Brigadir Jenderal Bethel dan pasukan Sekutu ikut berunding pada 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu kemudian melucuti senjata dan menawan para Tentara Jepang.
Meskipun terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, situasi tidak kunjung membaik. Bahkan, situasi semakin memburuk karena pembunuhan sandera. Peristiwa tragis ini terjadi di Pedurungan, di mana warga Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk, bersatu untuk memindahkan tawanan yang dijadikan sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi, 75 sandera tersebut akhirnya dibunuh, yang kemudian memicu kelanjutan pertempuran.
Dalam situasi yang semakin panas, pemuda dari luar Kota Semarang datang untuk memberikan bantuan kepada perjuangan rakyat Semarang, yang kemudian membuat Tentara Jepang semakin marah. Radius sekitar 10 kilometer dari Tugu Muda menjadi medan pertempuran yang sengit.
Pasukan yang terlibat dalam pertempuran tersebut mencakup Batalion Kido, Batalion Yagi, Kompi Sato dari pihak Jepang. Sementara pihak Indonesia melibatkan BKR Darat dengan Resimen 21 dan Resimen 22, BKR Laut, BKR Udara, Seksi Polisi Istimewa, serta Laskar AMRI dan Laskar Pesindo.
Untuk mengenang Pertempuran Lima Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda mulai dibangun pada 10 November 1950 dan diresmikan oleh Presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Desain tugu dikerjakan oleh Salim, sementara relief pada tugu dikerjakan oleh seniman Hendro. Tugu Muda berdiri di kawasan yang menyimpan banyak sejarah selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan Lawang Sewu. Selain itu, nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang sebagai penghormatan atas jasanya.
Mengenang pejuang pada Pertempuran Lima Hari di Semarang digelar peringatan di kawasan seputar Tugu Muda, Kota Semarang, Sabtu (14/10/2023). Hadir pada acara tersebut Irdam IV/Diponegoro Brigjen TNI Yudhi Pranoto, mewakili Pangdam.
Hadir pula Pj Gubernur Jateng Nana Sudjana selaku Inspektur Upacara peringatan, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, Pejabat Utama Polda Jateng, serta para pejabat Forkopimda Kota Semarang.
"Penghargaan yang setinggi-tingginya patut kita berikan kepada seluruh Pahlawan yang gugur pada Pertempuran tersebut, sebab karena kegigihan mereka, kita bisa merasakan kemerdekaan yang mutlak," kata Kapendam IV/Diponegoro Kolonel Inf Richard Harison.
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto