GUNUNGKIDUL, iNEWSDEMAK.ID – Kuliner ekstrem belalang goreng khas Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi buruan wisatawan selama libur panjang. Hidangan ini disukai bukan hanya karena keunikannya, tetapi juga karena proses pembuatannya yang sederhana.
Belalang yang diperoleh dari pengepul dibersihkan terlebih dahulu, kemudian diberi bumbu bawang merah, bawang putih, garam, dan penyedap rasa. Untuk yang menyukai pedas, sambal dapat ditambahkan. Setelah itu, belalang digoreng hingga matang.
Harga belalang goreng ini berkisar Rp25.000 hingga Rp30.000 per toples kecil, sementara untuk pembelian per kilogram, harganya mencapai Rp500.000.
Reaksi Wisatawan
Bagi beberapa wisatawan, ini merupakan pengalaman pertama mencoba kuliner ekstrem tersebut. Alin Daffa Putri, salah seorang pengunjung, mengaku terkejut dengan rasanya. “Rasanya mirip udang,” ujarnya saat membeli belalang goreng di pinggir jalan Gunungkidul, Selasa (28/1/2025).
Hal serupa diungkapkan Gumara Andi, wisatawan asal Semarang. “Penasaran sama rasanya, baru pertama kali ini. Cocok buat oleh-oleh,” katanya.
Wacana Serangga sebagai Menu MBG
Sementara itu, Badan Gizi Nasional (BGN) membuka peluang memasukkan serangga sebagai salah satu alternatif menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan serangga seperti belalang dan ulat sagu dapat menjadi sumber protein.
“Kalau ada daerah yang terbiasa makan serangga, itu bisa menjadi bagian dari menu mereka,” ujar Dadan saat ditemui di Jakarta Selatan, Sabtu (25/1/2025).
Meski demikian, Dadan menekankan bahwa standar menu nasional tidak ditentukan oleh BGN, melainkan berdasarkan komposisi gizi yang disesuaikan dengan potensi lokal. “Isi protein tergantung pada sumber daya lokal dan kebiasaan masyarakat,” imbuhnya.
Kritik dan Respons Publik
Wacana serangga sebagai menu gizi memancing berbagai reaksi, baik dukungan maupun kritik. Beberapa pihak menilai langkah ini inovatif, sementara yang lain meminta pemerintah untuk tidak mengedepankan kebijakan yang dianggap tidak biasa.
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto