get app
inews
Aa Read Next : Pilihan Wisata Dekat Stasiun dari Semarang hingga Tegal, Naik KA Kaligung!

Ketika Kampung (Dipaksa) Jadi Tempat Wisata

Sabtu, 28 Mei 2022 | 09:27 WIB
header img
Cover buku Omelan Desa, Kampung, Kota karya Bandung Mawardi (Ist)

 

Oleh Setia Naka Andrian — Penulis lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

TAK terhitung sudah berapa peristiwa setiap harinya yang menyesaki tiap-tiap halaman di koran-koran. Pembaca setia koran terpaksa membuka lembaran-lembaran koran dengan seabrek peristiwa, entah ada yang disuka atau tidak disuka sama sekali. Koran pun sesungguhnya memaksa diri pembaca untuk memilih mana saja yang berkesan, hingga membuat pembaca berhasrat untuk mengkliping bagian yang dianggap paling menggugah selera. Agar setidaknya segala peristiwa terpilih akan lebih panjang menginap di benak dan batinnya.

Namun, segala itu tak cukup bagi Bandung Mawardi. Selepas membaca dan mengkliping  peristiwa terpilih di koran, Bandung Mawardi harus mencipta omelan atas peristiwa itu. Tak jarang omelan berisi kemarahan, sinis, jengkel, dan seabrek luapan emosi lainnya. Enam bulan Bandung Mawardi mengunyah peristiwa tentang desa, kampung, dan kota.

Nyaris setiap hari satu omelan, satu tulisan atas segala luapan selepas ia membaca peristiwa di koran-koran. Omelan-omelan itu terhimpun dalam bukunya Omelan: Desa, Kampung, Kota (Kampungnesia dan Jagat Abjad). Bandung Mawardi memulai omelan pertamanya atas berita di Solopos, 2 Januari 2018 dan omelan ke-150 (terakhir) atas berita di Media Indonesia, 12 Juni 2018.

Sungguh, ini nyaris setiap hari Bandung Mawardi mengomel! Satu hari satu omelan atas satu berita di koran! Tercatat beberapa koran yang diomeli setiap hari, di antaranya Solopos, Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, Tribun Jateng, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Radar Solo, Republika. Berita-berita diomeli Bandung Mawardi muncul dari berbagai desa, kampung, kota dari berbagai daerah. Yakni dari Klaten, Semarang, Solo, Surabaya, Jakarta, Boyolali, Wonogiri, Kulonprogo, Lampung, Bandung, Jogjakarta, Bogor, Malang, Bekasi, Banjarmasin, Pemalang, Sragen, Karanganyar. Bahkan juga omelan muncul akibat kabar dari luar, yakni India, Singapura.

Omelan menyasar pada cat (warna) di kampung, di desa, jalan, pohon, panen, musik, pengecapan kota-kota, kampung sejarah, kota kitab suci, tentang segala sesuatu harus menjadi wisata, permukiman langganan kebakaran, jalan, hotel, trotoar, kota festival, kirab, bandara, makanan, tong sampah, hingga urusan ngising dan tahi, serta tetek-bengek lainnya. Bagi Bandung Mawardi semua jadi bahan omelan, jadi tulisan-tulisan.

Omelan Bandung Mawardi yang menyasar perihal warna (cat) kiranya sedang begitu riuh dan populer mengidap desa-desa dan kampung-kampung. Bahkan tidak hanya hadir di kampung-kampung, desa-desa saja, di kota Semarang pun ikut-ikutan. Cat juga seakan mengotori kota, di garis batas berhenti (lampu merah) beberapa jalan kota! Gambar-gambar ora nggenah, ora jelas karepe muncul, bahkan sampai sempat bertuliskan (bercap) salah satu perusahaan ojek online, sudah pasti itu iklan, berurusan dengan uang.

Meski tentu, gambar-gambar itu tidak bertahan lama, sekarang bisa kita lihat kotornya. Pasti karena kualitasnya catnya. Akhirnya jalanan itu jadi nampak kumuh! Meski awalnya bangga, diunggah siapa saja di media sosial. Bahkan pejabat tinggi kota pun turut serta mengunggahnya, berketerangan: dulu dan kini! Gambar-gambar diberi tugas agar mampu membuat jalanan menjadi kekinian dengan gambar-gambar kartun berwarna-warni.

Ternyata, cat berwarna-warni juga menghampiri pemukiman kumuh di Mumbai, India. Kita simak omelan Bandung Mawardi berjudul “Mumbai Berwarna” atas berita “Sentuhan Kuas untuk Mengubah Dunia”, Media Indonesia, 8 Juni 2018. Bandung Mawardi menegaskan: Pemberitaan mirip dengan kampung-kampung di Indonesia, sejak sekian bulan lalu. Indonesia dan India sama ingin berwarna di mata dunia untuk “menutupi” kumuh, kotor, dan kemproh? Kita sudah bosan dengan berita kampung warna.

Warna-warni bagi mereka, barangkali dianggap agar memberi kesan kekinian, modern, bersih, meriah, elok, tidak kuno. Atau bahkan warna-warni menjadi sebuah capaian kebahagiaan, makmur, sejahtera bagi warga. Kota-kota, kampung-kampung, desa-desa seantero Indonesia kini banyak yang mengidap cat warna-warni itu. Jika di Semarang didapati Kampung Pelangi, maka bolehlah disebelahnya, di Kendal ikut-ikutan ada Kampung Ragam Warna. Nanti ada kampung apa lagi, kampung seribu warna, kampung sejuta warna, kampung sejuta pelangi, atau mbuh apa lagi! Sudah saatnya para pengidap fenomena warna-warni harus diomeli Bandung Mawardi: kampung itu bukan dicat warna-warni, namun dikisahkan, diceritakan!

Atas segala warna-warni yang mengidap kampung-kampung, desa-desa, dan kota-kota kita itu, selanjutnya akan berakhir pada laku berfoto dari siapa saja yang berkunjung. Bagi anak-anak muda pacaran, bergandengan tangan, lalu berswafoto, kemudian diunggah di instagram. Sudah. Warga bungah. Turis sudah berkunjung. Desa-desa, kampung-kampung, telah menjadi tempat wisata. Ini prestasi!

Bagi Bandung Mawardi, di Indonesia,  warna belum memiliki sejarah. Kampung-kampung di kota dicat sekian warna tak mengikutkan penjelasan bermutu. Pameran warna melulu demi memikat mata pengunjung untuk berfoto. Setelah fenomena warna-warni di kampung-kampung, desa-desa, hingga kota, lalu segala itu dipaksa harus berkembang menjadi tempat wisata.

Opini ini menjadi tanggung jawab penulis di luar redaksi demak.inews.id 

Editor : Taufik Budi Nurcahyanto

Follow Berita iNews Demak di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut