KENDAL - Laila Nuur Mutia beberapa kali meluncurkan pesan singkat WhatsApp yang terpatah-patah menuju ponsel (setengah) pintarku. Ia kerap bertanya, aku harus ngomong apa, aku harus memulai dari mana? Dan tentu, sebagai junior yang baik, aku melakukan tindakan sederhana: menyemangatinya. Meski juga: melempar beban-beban kecil. Entah saat itu disadarinya atau tidak. Jika dapat disimak, kali pertama beban kecil aku sematkan tipis dalam tajuk Jurasik #43 kala itu, sebuah program dari Jarak Dekat Art Production Kendal.
Ya, benar. Sebelum kalimat pendek berikut kulempar ke hadapan khalayak, tentu kulempar bertubi-tubi dulu kepada Laila Nuur Mutia. Kami berdiskusi kecil perihal tubuh dan imajinasi dalam jagat seni gerak itu. Meski kerap pula pesan kami saling patah-patah, akibat aktivitas lain yang cukup menyita. Namun tetaplah, dapat kami temukan setidaknya semacam titik terang, meski masih remang. Dalam reruntuhan pemantik kecil berikut.
Tubuh dan imajinasi dalam tari kerap berjalan berdampingan, atau kadang juga dijumpai saling mendahului; dalam konteks penciptaan. Medan seni gerak ini hadir di mata khalayak dengan berbagai kejutan; tak terduga. Bagaimana tubuh hadir duluan melampaui segala imajinasi yang membentuk dan membentur segenap bangunan-bangunan yang menyokong ruang penciptaan. Selanjutnya, akan tersisa berdesakan makna di benak dan batin kita. Begitulah kiranya yang akan kita simak dari penyaji kali ini.
Sejak 2011 hingga saat ini dan sampai kapan pun, penari yang bakal hadir, berkisah, dan presentasi karya ciptanya ini telah bergelut dalam berbagai bentuk. Di antaranya Gymnastic Dance Contemporer, Modern Dance, Bellydance, Line Dance, Sexy Dance, Fire dance, dan dengar kabar akhir-akhir ini ia sedang menginjaki proses teater gerak. Penasaran? Bolehlah sedikit, namun jangan kebablasan. Santai saja, sederhana saja. Biar karya cipta yang bicara. Jangan ditunggangi dengan embel-embel apa pun. Kasihan. Biar ia lahir dengan caranya, tentu yang paling mulia.
Tentu itu bukan sesuatu yang besar, atau dapat dicap sebagai pijakan kokoh. Namun setidaknya melalui itu, Laila Nuur Mutia telah memulai separuh perjalanan pendeknya dalam segenap perjalanan panjang yang pasti dapat direngkuhnya tanpa menemukan titik berhenti sama sekali.
Bahkan tanpa dibocorkan panjang, dalam forum Jurasik malam itu, di Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal. Hadirin yang tak begitu riuh itu menangkap dengan baik apa yang awalnya telah kami bisikkan pelan dalam percakapan pesan singkat yang patah-patah itu. Ya, aku dan Laila Nuur Mutia begitu yakin. Sebab moderator tidak tetap (honorer) malam itu pun, yang tak lain adalah Akhmad Sofyan Hadi, Direktur Artistik Jarak Dekat, sama sekali tak tahu dengan rahasia kami sebelumnya.
Pelan-pelan hadirin masuk dalam rahasia kami, tentu itu semua mengalir selepas Laila Nuur Mutia memberikan godaan dalam pertunjukan fire dance. Seusai moderator tidak tetap itu mengumbar pemantik lain, selepas Laila Nuur Mutia berkisah pula mengenai perjalanan panjang prosesnya yang diyakini masih pendek itu. Sebab dalam obrolan malam itu, ia sangat meyakinkan diri bahwa prosesnya masih sangat panjang.
Meski sempat diumbar berbagai penghargaan atas kemenangan lomba-lombanya dalam ajang tari oleh Akhmad Sofyan Hadi, tetap saja Laila Nuur Mutia merasa masih ingin bergerak lagi. Termasuk ketika ia hendak turut serta dalam proses teater gerak (tubuh) yang hendak dilangitkan oleh Teater Atmosfer, menggarap alih wahana dari sebuah puisi. Sebuah grup teater di Kendal yang masih belia akan tetapi selalu ingin memberi tawaran-tawaran baru itu.
Bahkan sempat pula, Laila Nuur Mutia mendapat pertanyaan dari hadirin, yang tak perlu aku sebutkan namanya. Ia bertanya, “Anda sesungguhnya lebih klik menjalani genre tari yang mana sih? Dari sekian bentuk modern dance yang telah dikerjakan selama ini?”
Apa jawaban Laila Nuur Mutia? Ia menjawab dengan serius, bahwa ia mengaku sangat klik dengan semua genre itu. Hadirin turut menatap Laila Nuur Mutia dengan nada melongo. Ya, malam itu hadirin didominasi oleh adik-adik muda dari kalangan celana abu-abu itu yang entah dikirim dari sekolah mana. Aku lupa menanyakan asal-usul atau rumah kelahiran mereka. Aku kira tak perlu. Mereka sudah hadir tanpa paksaan saja sudah sangat membahagiakan. Dan memang seharunya begini. Sebuah acara disuguhkan bukan untuk mencari banyak-banyak hadirin. Apalagi harus marah-marah ketika yang hadir hanya bijian. Sudahlah, lupakan.
Selepas itu, ada sosok muda yang masih terkenal jomblo itu, ia bernama Budiawan. Malam itu ia memberi tanggapan cukup panjang. Bahkan aku, moderator, bahkan haidirin lain pun turut merasakan ada yang beda dengan Budiawan malam itu. Sungguh, kali itu ia tak seperti biasanya. Itu malam, Budiawan menumpahkan banyak hal mengenai seabrek riwayatnya dalam mengarungi berbagai acara. Tentu dalam lingkup kacamatanya sebagai pegiat EO, yang sudah cukup memiliki jam terbang itu.
Budiawan lebih memberikan tantangan-tantangan yang cukup menggoda bagi Laila Nuur Mutia. Di antaranya terkait proyek yang sepertinya akan mereka kerjakan bersama. Nah, menariknya ya itu. Dalam sebuah forum intim serupa Jurasik tersebut menjadi jembatan panjang untuk melakukan kerja-kerja berikutnya. Meski kerja tersebut seperti apa, tidak akan aku sampaikan dalam tulisan ini.
Biar saja Laila Nuur Mutia dan Budiawan serta hadirin malam itu saja yang tahu. Meski saat malam itu, juga menjadi ajang mempertemukan antara senior dan junior. Antara kakak kelas dan adik kelas. Sebab Budiawan itu ternyata adik kelasnya Laila Nuur Mutia, saat masa mengelus bangku SMA dulu. Dan, mereka baru tahu ya malam itu. Subhanallah, betapa tidak penuh berkahnya Jurasik malam itu. Meski tidak menemukan jodohnya Budiawan, namun minimal menemukan kakak kelasnya. Hehe.
Ada sekitar sepuluh saksi mata yang merelakan sepenuh mata, telinga, dan segenap hatinya untuk merayakan Jurasik #43 yang dibintangi oleh Laila Nuur Mutia itu. Hampir 80% hadirin angkat bicara semua. Bahkan ada yang tidak hanya sekali. Panjang-panjang pula yang disampaikan. Hingga semua itu, membuat Laila Nuur Mutia cukup cemas, dalam hati, kapan aku pulang, kapan aku pulang kalau kalian tak ada berhentinya bertanya, berbicara.
Kian malam, kian larut hadirin dalam hangat perbincangan. Meski awalnya Laila Nuur Mutia juga sangat khawatir, sebab sebelumnya turun hujan. Ia cemas, kiranya acara akan jadi atau tidak. Namun, Akhmad Sofyan Hadi, sang moderator menyampaikan kepadanya, “Semua akan tetap berjalan. Akan tetap digas, apa pun yang terjadi.” Laila Nuur Mutia dan seksi apa saja malam itu, yakni Sindhu Praba pun kian tenang. Meski sesungguhnya masih was-was pula. Takut hujan lebat, takut BKR kebanjiran. Seperti yang sempat yang terjadi saat dulu itu. Pas ketika Jurasik, hujan lebat dan air memenuhi lantai BKR. Masuk, air-air itu turut serta pentas.
Selanjutnya, inilah hal terakhir yang akan aku sampaikan dalam catatan kecil ini. Hal terakhir yang juga ada dalam rahasia, yang tentu sangat kami bicarakan serius dalam percakapan. Yang kami gelisahkan saat percakapanku yang patah-patah dengan Laila Nuur Mutia dalam pesan singkat. Yakni tantangan yang ditawarkan hadirin, bahwasanya selepas bergelut dalam modern dance ini, lalu mau ke mana?
Maka sampailah perbincangan pada wilayah tradisional. Apakah kiranya trasdisional itu akan menjadi pijakan, akan menjadi pondasi untuk menemukan bentuk baru atas bekal tubuh “modern” yang selama ini telah digeluti. Atau barangkali akan merekonstruksi ulang, atau bahkan mendekonstruksi?
Jawaban selanjutnya selepas ini, kita serahkan kepada Laila Nuur Mutia. Kita tunggu saja. Selepas ia berproses dengan Teater Atmosfer, lalu ia akan mengerjakan PR apa? Penciptaan apa yang akan ia gerakkan selanjutnya? Tentunya segala itu kita harapkan bukan kerja penciptaan yang biasa-biasa saja. Tentunya bukan pula pekerjaan atas tuntutan kerja saja. Dan, kami semua malam itu telah meyakini. Bahwa Laila Nuur Mutia telah begitu menaruh kesadaran lebih atas kedua wilayah itu. Mana kerja materialisme, mana kerja idealisme.
Editor : Setia Naka Andrian