Bakda Kupat
Satu pekan setelah merayakan hari Lebaran (Idul Fitri), masyarakat di beberapa daerah akan mengadakan perayaan kembali, yaitu tradisi Syawalan yang biasa disebut bakda kupat (lebaran ketupat). Di sebut Syawalan karena pelaksanaannya pada bulan syawal dan diadakan setelah hari Lebaran Sebagian masyarakat juga menyebutnya dengan bakda kupat karena sudah lazim kebanyakan orang saat itu banyak membuat kupat (ketupat). Dalam perayaan tersebut secara sederhana di berbagai daerah adalah diadakannya doa bersama, selanjutnya para warga mengadakan tukar-menukar ketupat yang dibawanya. Di beberapa daerah, para warga mengadakan acara berebut ketupat untuk memeriahkan perayaan. Di beberapa daerah, makanan lain yang juga ada selain ketupat adalah lepet, apem, dan buah-buahan.
Tradisi bakda kupat konon merupakan salah satu perayaan setelah hari Lebaran yang sudah ada sejak lama, yaitu pada era Kesultanan Demak awal abad kelima belas. Kupat yang bentuknya persegi empat dalam masyarakat Jawa juga seringkali dimaknai kiblat papat lima pancer, sebagai nasihat keseimbangan alam terkait empat arah mata angin yang bertumpu pada satu pusat. Bagi masyarakat Jawa, kupat konon diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Dalam perkembangannya, kupat ini menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara sebagai hidangan utama saat hari Lebaran. Pengaruh Wali Songo dan murid-muridnya dalam penyebaran agama Islam masa itu konon membuat makanan khas hari Lebaran tersebut tersebar ke berbagai daerah di Nusantara.
Oleh masyarakat Jawa, kupat juga seringkali dikaitkan dengan akronim laku papat yang berarti empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti usai, yaitu menjadi penanda selesainya waktu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Luberan berarti melimpah, yaitu ajaran untuk berbagi kebahagiaan dan rezeki kepada Sebagian masyarakat yang masih kekurangan dan memiliki hak menerimanya. Leburan yang berarti melebur dan menghilangkan dosa atas segala kesalahan dengan saling memberikan maaf. Dan laburan yang berarti kapur yang berwarna putih bersih yang melambangkan kita kembali kepada kesucian.
Tradisi bakda kupat terkandung filosofis yang diwariskan selama masa penyebaran Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa. Dengan demikian, mengingat betapa akrabnya masyarakat muslim nusantara kepada tradisi ini, maka penting pula untuk melestarikan kearifan lokal ini, agar generasi mendatang masih dapat merasakannya. Bentuk melestarikannya adalah dengan tetap melanjutkan tradisi baik di masa sekarang serta menurunkan nilai-nilai filosofis tradisi kupatan kepada masyarakat generasi berikunya sebagai bagian dari kearifan sosial (local wisdom).
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto