Kabar menyebar bahwa Tentara Jepang telah mencemari reservoir tersebut dengan racun. Akibatnya, terjadi kekhawatiran di kalangan warga Semarang, karena cadangan air di Candi, Desa Wungkal, adalah satu-satunya sumber air minum di Kota Semarang.
dr. Kariadi, sebagai Kepala Laboratorium Purusara (kini RSUP dr. Kariadi), berniat memastikan kebenaran kabar tersebut. Namun, dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda, mobilnya dicegat oleh Tentara Jepang di Jalan Pandanaran. dr. Kariadi dan tentara pelajar yang mengemudikan mobilnya ditembak secara keji. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan.
Pertempuran berhenti setelah Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro dan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berunding dengan komandan Tentara Jepang. Proses gencatan senjata dipercepat ketika Brigadir Jenderal Bethel dan pasukan Sekutu ikut berunding pada 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu kemudian melucuti senjata dan menawan para Tentara Jepang.
Meskipun terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, situasi tidak kunjung membaik. Bahkan, situasi semakin memburuk karena pembunuhan sandera. Peristiwa tragis ini terjadi di Pedurungan, di mana warga Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk, bersatu untuk memindahkan tawanan yang dijadikan sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi, 75 sandera tersebut akhirnya dibunuh, yang kemudian memicu kelanjutan pertempuran.
Editor : Taufik Budi Nurcahyanto