Zarof Ricar usai Dikaitkan dengan Kasus Suap CPO: Jahat Banget Fitnahnya

JAKARTA, iNEWSDEMAK.ID - Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar buka suara usai namanya dikaitkan dengan kasus dugaan suap vonis lepas atau ontslag perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Dia meminta tuduhan itu dibuktikan secara hukum.
"Ya buktiin aja, orang saya kenal juga enggak," kata Zarof usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/4/2025).
Dia mengaku tidak mengenal advokat Marcella Santoso yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dia pun menegaskan tuduhan itu merupakan fitnah.
"Nggak, cuman saya tahu namanya (Marcella Santoso) ya, tapi ga kenal. Jahat banget itu, fitnahnya itu lho," kata Zarof.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil mengungkap kasus dugaan suap terkait vonis lepas perkara ekspor CPO. Kasus ini bisa terungkap setelah Kejagung mengecek barang bukti elektronik perkara Zarof Ricar.
"Bukan dalam perkara (Ronald) Tannur, tapi ZR (Zarof Ricar)," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar saat dikonfirmasi, Senin (14/4/2025).
Sebanyak empat hakim ditetapkan sebagai tersangka. Keempat hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat; Djuyamto (DJU) selaku hakim PN Jakarta Selatan dan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang menjabat Ketua PN Jakarta Selatan.
Arif Nuryanta diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar untuk mengatur putusan perkara fasilitas CPO kepada tiga korporasi yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group.
Suap ini dilakukan agar majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan putusan sesuai yang diinginkan Marcella Santoso dan Aryanto, advokat korporasi yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun susunan majelis hakim yang menangani kasus itu yakni Djuyamto (DJU) selaku ketua serta Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku anggota.
Arif diduga memberikan suap ke ketiga hakim. Pemberian uang tersebut dilakukan dua kali.
Pertama, diberikan di ruangan Arif sebesar Rp4,5 miliar. Kedua, dilakukan pada September-Oktober 2024 sebesar Rp18 miliar.
Dalam putusannya, majelis hakim lalu menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan primer maupun subsider JPU. Hanya saja, perbuatan itu bukanlah merupakan tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging).
Editor : Arto Ary