Logo Network
Network

Konsistensi Puisi Sejarah dalam Mengenang Pejuang

Suaraya
.
Minggu, 29 Mei 2022 | 14:55 WIB
Konsistensi Puisi Sejarah dalam Mengenang Pejuang
Foto Diri Penulis (Ist)

Oleh Muslichin, S.S., M.Pd. — Ketua Lesbumi Kabupaten Kendal, Guru Sejarah SMA N 2 Kendal.

PADA dasarnya karya sastra dan sejarah merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Di satu sisi karya sastra banyak berbicara tentang kisah dan cerita masa lalu, sedangkan di sisi lainnya sejarah menjadi pengetahuan yang berguna untuk mengungkapkan deretan karya-karya masterpice yang pernah ada dari pengarang atau penyair hebat di negara Indonesia tercinta ini. Oleh karena itu lahirlah pemahaman generasi kini tentang sejarah kesusastraan Indonesia seperti munculnya angkatan pujangga baru, balai pustaka, angkatan 45, angkatan 66, dan terakhir angkatan 2000.

Dalam perkembangan kesusastraan sekarang, khususnya dinamika kepenyairan, sangat jarang yang bersuara tentang pahlawan dan sejarah dalam karya-karyanya secara utuh dan penuh. Umumnya yang sering terjadi adalah karya-karya tunggal atau proyek kompilasi dengan penyair lainnya yang membahas tema perjuangan.  Puisi perjuangan sering pula dijumpai pada tema perjuangan menjelang hari pahlawan atau kemerdekaan di surat kabar atau media sosial yang menjadi wadah menampung karya mereka. 

Melihat karya Siti Martini dalam buku kumpulan puisi yang berjudul Mengenang Pejuang, barulah kita tersadarkan bahwa ada sosok penyair baru yang notabene adalah guru sekolah dasar yang mampu menerbitkan puisi perjuangan dalam satu buku secara lengkap. Buku merah putih yang terdiri dari 50 puisi ini semua isinya mengungkapkan kisah perjuangan, derita, kepiluan, ketersisihan, semangat, berontak, melawan, dan mengkaji dimensi dan dunia pejuang.

 

Aspek Ekstrinsik Mengenang Pejuang

Karya sastra tidak lepas dari lingkup sosio-kultural pengarangnya. Karya lahir dari dimensi sosial pengarangnya. Seorang pengarang melibatkan perasaan/emosi, nilai-nilai, profesi, pendidikan, aktivitas, bahkan ideologinya. Banyak faktor yang menyebabkan penyair tertarik untuk memilih dan menghasilkan karya yang bertemakan pandangan tertentu. Dengan ketekunan, maka penyair menguasai karya tersebut secara serius. Apalagi pengalaman hidup yang dialami penyair, menjadikannya mampu merekam peristiwa-peristiwa tertentu, mengabadikannyaa, dan menampilkan kembali akan kenangan sejarah itu melalui bungkus karya sastra.  Karya-karya sastrawan Balai Pustaka banyak yang mengangkat persoalan adat istiadat yang keras, perkawinan paksa, dan penindasan terhadap perempuan. Hal ini sesuai jiwa jaman yang berkembang saat itu di mana kosa kata kehidupan masa kolonial menyebabkan pribumi tidak berani berbicara banyak tentang politik dan emansipasi. 

Berbeda dengan angkatan 1920-an tersebut, Angkatan Pujangga Baru justru menolak dominasi dan kontrol Hindia Belanda melalui dunia sastra. Sastrawan seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Sanusi Pane, Amir Hamzah, serta J.E. Tatengkeng berani mengangkat isyu pendidikan, nasionalisme dan kebangsaan mengingat dinamika politik yang berkembang pemerintah tidak bisa membendung laju perubahan politik tanah air.  Sebaliknya sastrawan Angkatan 45 lebih kuat lagi mengungkapkan semangat perjuangan melawan penjajah (NICA). Spirit nasionalisme terbangun atas dasar situasi jaman yang meminta mereka menjadi corong perjuangan. Penyair seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Trisno Sumarjo, dan Rivai Apin menjadi contoh sosok-sosok yang begitu kental mengangkat pena untuk merekam semangat generasi yang baru membebaskan tanah air dari belenggu penjajah.

Kembali pada karya Mengenang Pejuang. Sebagai penyair, Siti Martini (SM) pasti tidak hidup pada masa perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan. Pasti pula SM juga tidak terlibat pergolakan senjata melawan NICA dan bagaimana sepak terjak pejuang Indonesia melawan para pemberontak yang merongrong kemerdekaan Indonesia. Dari sisi usia, SM masih berusia 55 tahun yang berarti beliau pun tidak mengalami periode revolusi dan peristiwa kelabu G30S/PKI. Namun demikian, melihat semua karyanya yang terdiri dari 50 puisi tentang pejuang ini, ia mampu menceritakan dan menampilkan emosi maupun diksi yang luar biasa tentang pejuang. Seolah ia merasakan secara langsung bagaimana derita pejuang, pengkhianatan, keletihan, ambiguitas, dan ketidakadilan yang dialami pejuang.  

Mengapa bisa demikian? Sudah pasti profesinya sebagai guru sekolah dasar yang multi talenta mengajar bidang studi apa saja memberikan keleluasaan luar biasa membaca buku-buku yang bervariasi dan berkualitas. Guru SD harus bisa mengajar bahasa, sekaligus matematika dan IPS. Pada pelajaran IPS itu, pasti ada pelajaran sejarah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi SM untuk berpikir bagaimana menyajikan peristiwa masa lalu dalam wadah atau model yang diminati murid-muridnya. 

Saya menduga SM membaca karya-karya Chairil Anwar, Trisno Sumardjo, dan Taufik Ismail. Minimal ketiga penyair itu pasti menjadi referensi dan favorit SM sehingga ia memperoleh acuan diksi ketika menorehkan satu ide dalam setiap menciptakan puisi demi puisinya. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Banteng, dan Debu di atas Debu karya Taufik Ismail barangkali sudah dikhatamkan oleh SM. Apalagi Silhuet (Kumpulan) dan Kata Hati dan Perbuatan karya Trisno Sumardjo barang tentu sudah dilahap habis dan dipahami betul detail karakter puisinya. Tak lupa buku-buku kumpulan puisi Chairil Anwar seperti Aku Ini Binatang JalangDeru Campur Debu, dan Kerikil Tajam dan yang terhempas dan yang Terputus pun mungkin sudah ludes diselesaikan. Semua itu membentuk cakrawala pandang baru bagi SM untuk melihat fenomena apapun dan mereproduksi kembali dalam karya puisinya yang diksi-diksinya saling bersentuhan dan berebut untuk tampil dalam tema-tema spesial bagi SM sebagai penyairnya. 

Dengan bacaan yang banyak dan intens terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu negeri ini, ditambah pengalaman mengunjungi kawasan, situs bersejarah, dan museum, membuat SM mahir bermain kata-kata dalam menyuarakan spirit kepahlawanan melalui diksi yang lincah meliuk dan membakar semangat atau menampilkan rasa teriris melihat derita pejuang yang terhempas dan jauh dari rasa keadilan.

 

Aspek Instrinsik Mengenang Pejuang

Memperbincangkan Mengenang Pejuang sudah tentu melihat satu persatu puisinya dan menangkap benang merah dari buku bersampul merah itu yang mana penyairnya ingin menyuarakan kegelisahan kaum pejuang miskin penghargaan dan materi. 

Puisi pertama adalah Mengenang (h. 1). Puisi ini sangat deskriptif sekali. Jika tidak hati-hati kita terkecoh pada puisi gosong. Namun sebetulnya, puisi ini kaya diksi yang mampu menggambarkan suasana kelabu dan haru. Penggunaan kosa kata peluh, lirih, karangan bunga, pagi yang malas, bambu runcing, dan sepenggal nama mencitrakan kedukaan yang mendalam. Hampir serupa dengan puisi ini adalah Tidurmu (h. 2), Gugur (h. 16), Raga Terdiam (22), Senyum Pahlawan(23), Luka (28), Batu Nisan Darah (33), dan Duka Juang Kusuma Yuda (h. 42). 

Beberapa puisi tersebut di atas memiliki tema yang sama: kehilangan sosok pejuang. Namun, penggambaran rasa dukanya yang sedikit berbeda. Diksi yang dipergunakan pun bervariasi sehingga seakan pembaca menemukan sesuatu yang baru dalam puisi-puisi itu. Dan sepertinya, semua puisi tersebut cukup berhasil menggambarkan suasana yang diharapkannya. Unsur bombastis juga tidak terlihat dalam merepresentasikan rasa kadukaan penyairnya. 

Melihat unsur diksinya, puisi-puisi SM termasuk kategori yang tidak terlalu rumit. Pilihan katanya cukup memiliki makna yang diinginkan tanpa harus ada curahan berpikir pembaca untuk mengartikannya. Kemungkinan sekali ini  dilakukan ketika proses kelahiran puisi itu diwujudkan untuk konsumsi anak didiknya saat kegiatan pembelajaran mengajar berlangsung. Pilihan kata yang diambil merupakan konsensus SM pada lingkup pembaca awal puisi-puisinya, yakni murid-muridnya sendiri. Dengan demikian, SM tidak perlu membutuhkan kata sebagai simbol yang rumit untuk diartikan. Apalagi, gaya diksi dan irama puisinya dapat menjelaskan arah ke mana puisi-puisi itu dibacakan. Memang, puisi SM lebih berorientasi pada puisi deklamatif atau puisi yang sangat umum dibacakan secara keras, bersemangat, dan energi penuh seperti hal dalam lomba pembacaan puisi yang bertemakan kepahlawanan. 

Jika dilihat dari rimanya, jelas sudah tidak acuan yang membelenggu SM untuk mengembangkan kreasi kata-katanya. Puisi-puisi modern sudah pasti kurang patuh pada rima. Jarang puisi SM yang mengikuti secara kaku rima seperti halnya pada puisi-puisi lama zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Kepatuhan pada rima hanya beberapa saja dan itu pun hanya beberapa baris saja dari puisi SM.

Bagi SM, kata sebagai simbol yang sederhana. Ia memilihnya untuk merepresentatif rasa puisi-puisinya. Ia tidak membawa unsur imaji dalam kerangka kata yang dipilihnya. Agaknya, ia sengaja memilih kata-kata dalam puisinya yang tak jauh dari makna denotatif. Ia sengaja meminimalisasi makna konotatif dan simbolik dari diksinya. Seorang penyair rata-rata sangat dipengaruhi oleh referensi penyair sebelumnya. Taufik Ismail dan Chairil Anwar menjadi acuan referensi berkata-kata SM dalam memproduksi puisi-puisinya. Beda dengan penyair Sapardi Joko Damono bahkan Sutardji Chalsoum Bachri yang banyak mempergunakan simbol-simbol berbahasa, kata-kata konotatif, dan simbolik yang memang sangat sulit untuk memahami kepastian maknanya, SM justru menawarkan kejelasan arti dan makna puisinya tanpa harus berkerut-kerut dan berpikir seribu kali.

 

Nasionalisme Mengenang Pejuang

Puisi adalah cermin diri penyairnya. Penyair seperti SM sangat konsisten mengangkat cerita, kisah, dan peristiwa yang berkaitan dengan pejuang dan kepahlawan. Ketertarikannya pada dunia sejarah menghasilkan kekuatan memproduksi puisi yang semuanya bertema sama, yakni pejuang. 

Dengan referensi dari penyair angkatan 45 dan 66, sudah tentu SM mampu menampilkan wajah kepahlawanan yang lebih baru dan unik. Kebaruannya terletak pada sudut pandang dan kreasi kata-katanya yang belum pernah nampak pada penyair-penyair sebelumnya. Meski tetap ada sisa kekaguman dengan diksi penyair hebat seperti Chairil Anwar atau Taufik Ismail tetap ia berusaha memposisikan diri bahwa puisinya adalah orisinil dan berbeda dengan penyair-penyair tersebut. 

Kekuatan SM terletak pada fokusnya yang kuat pada satu tema: pejuang. Kemungkinan besar jika ia menggunakan tema yang lain akan terjebak pada ide-ide yang bergelimang dan besar tapi miskin pengasahan dan penajaman sudut pandang. Dengan menjadikan sejarah dan pejuang sebagai tema puisi maka ia memiliki spesialisasi tersendiri dan berupaya memperbaiki diri agar tidak terjebak pada kebosanan pembaca kaum milenial. 

Untuk ditampilkan pada pembaca yang masih belia, yakni anak-anak pelajar dari SD sampai SMA, puisi ini sangat pas dan tepat, mengingat mereka membutuhkan media belajar yang menarik untuk mengkaji masa lalu. Puisi SM bisa membuka pintu kaum muda milenial untuk mencintai masa lalu. Namun, untuk pembaca yang referensi bacaannya puisinya melimpah, ada beberapa puisi yang berhasil dinikmati dan segar, tetapi banyak yang membutuhkan sentuhan-sentuhan sedikit agar bisa tampil lebih gagah dan berbicara lagi.

Tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis di luar redaksi demak.inews.id 

Editor : Setia Naka Andrian

Follow Berita iNews Demak di Google News

Bagikan Artikel Ini