Oleh Muslichin, S.S., M.Pd. — Guru Sejarah SMA N 2 Kendal, Ketua Lesbumi Kendal.
ADA banyak alasan seseorang menulis puisi. Alasan utama seringnya adalah rasa kesepian dan keterjajahan akan sesuatu. Anak muda milenial bisa mengurai kata-kata yang indah dan puitis dikarenakan proses pengalaman hidup yang bernama kegagalan cinta, patah hati, jomblo, atau ketertarikan pada lawan jenis dengan sebab-sebab yang tak terjelaskan.
Namun demikian, tak semua lelaki yang mengalami proses kegaulauan hati mampu mengejawantahkan dalam kata-kata dengan diksi canggih, serius, ritmis, dan nakal. Banyak yang gagal tentu saja, dan yang sedikit itu pasti ada. Ada yang kurang sukses dalam beberapa puisi yang diciptakan namun ada yang keren di beberapa puisi yang lainnya. Ada yang sebagian berhasil namun tentu saja ada sedikit yang biasa saja dan kurang mengena.
Dalam dunia perpuisian, hal itu lumrah dan biasa saja. Seorang penyair pemula tidak boleh patah arang, putus semangat, dan berniat gantung puisi manakala ada pengulas dan kritikus mengatakan puisinya sebagai biasa yang standar, garing, polosan, dan bahkan gosong. Demikian pula, jangan sampai penyair begitu tersanjung berlebihan ketika puisi-puisinya dikatakan puisi yang sukses, sakti, dan mampu menyihir orang-orang untuk membaca dan memperbincangkannya.
Ada subyektifitas dalam proses penciptaan dan penilaian sebuah puisi. Sebagai dunia yang subjektif jelas puisi menghasilkan kenikmatan dan standar kenyamanan yang tak sama antar manusia. Dalam proses menganalisis juga seperti itu. Ketidaksamaan dunia pembaca dan penyiar terjadi. Dan seperti biasa tugas saya memberikan titik temu antar penyiar dan pembaca yang tentu saja penuh subjektifitas yang berbalut dengan kata-kata yang sok akademis.
Sejujurnya saya bukan paus sastra seperti H.B. Jassin yang fenomenal dan luar biasa kiprah kritik sastranya. Saya juga bukan A. Teeuw yang memiliki referensi sejuta buku yang bisa kokoh dalam memberikan kriitik dan ulasannya yang mantap. Tapi saya sosok manusia sederhana yang berbekal bacaan-bacaan sekunder yang mencoba membantu penyair-penyair pemula untuk membangun dirinya dan menemukan mutiara yang terkandung dalam bakat dan ketekunannya.
Penyair-penyair muda butuh dukungan orang lain untuk menemukan kesuksesannya. Puisi-puisi yang dihasilkan seseorang akan bersinar dan abadi manakala ada kerelaan diri orang lain untuk mengkritiknya, membedahnya, membanting, dan menyanjungnya ketika mengeksplorasi diksi puitisnya.
Mengkritik dan membanting bukan berarti pembunuhan karakter bagi masa depan puisinya. Justru ketika kritikus melakukan fungsinya yang seakan membunuh itu sebetulnya sedang proses pengujian sejauhmana mental dan karakter penyair terbentuk. Hanya saja banyak penyair muda yang kalah mental dan patah arang ketika puisi-puisinya mengalami proses pembullyan dan penghakiman seperti itu.
Hal ini sebetulnya wajar mengingat mentalitas dan kepribadian kita yang belum siap menerima itu semuanya. Kita teramat akrab dengan dunia sanjungan dan pujian. Jarang ada yang siap siaga menerima gempuran dan kritik pada diri kita. Secara ideologis kita terlahir sebagai bangsa yang sibuk menghargai dalam wujud penyanjungan bahkan pengkultusan.
Perempuan
Melihat dan membaca karya Syamsul Al Qondaly (SAQ) dalam kumpulan puisi yang bertajuk Senyummu Alamatku, kita tidak sedang berbicara tentang sanjungan atau kritikan semata. Mengkaji buku hijau yang berisi 91 puisi yang semuanya dapat dikatakan puisi cinta ini memberikan kesadaran bahwa kasih, perempuan, serta musim hujan itu adalah sesuatu yang saling bersimbiosis.
Namun demikian, puisi tentang perempuan SAQ ini tidak berisi eksploitasi tentang perempuan, nafsu, atau kisah romantika anak sekolah. Beberapa puisi di awal buku ini kita akan bertemu dengan Martir (h. 1), Satu; Kau dan Aku (h. 3), Sungguh Senyummu Dimekarkan (h. 5), Perempuan yang Memilih Menyimpan Kepedihan Seorang Diri (h. 6), Duka Perempuan (h. 7), dan ditutup dengan puisi Sepasang Mata Perempuan (h. 8-12). Puisi-puisi ini wujud SAQ sangat intensif berbincang tentang kepedulian terhadap perempuan, emansipasi, posisi, kodrat dan ekspresi pembelaan terhadap fisik dan dunia perempuan.
Ada apa dengan perempuan? Mengapa SAQ sangat kental membela perempuan? Beragam pertanyaan pasti hadir mempertanyakan latar dan proses kreatif mengapa ia memilih tema perempuan. Jika boleh menjawab berdasarkan frasa dan makna yang tersuratkan dalam puisi-puisinya, pasti kita menduga, pertama karena SAQ dibesarkan sangat baik dilingkungan yang menghargai perempuan; kedua bisa jadi ia melihat figur ibu dan keluarganya begitu besar terhadap tumbuh kembangnya dia hingga bisa memperoleh banyak ilmu agama dan lainnya; ketiga ia memiliki sosok idola perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan, sosial, dan budaya yang oleh karenanya ia sangat menghormatinya; dan terakhir ia mendambakan perempuan yang sempurna dalam hal tertentu seperti akhlak, perilaku, adab, kesantunan, beretika, cerdas, dan tentu saja cantik yang sesuai pandangan SAQ.
Pengaruh Usman Arrumy dan Sapardi
Penyair muda mesti punya idola. Sosok idola itu memiliki pengaruh besar bagi proses kreatif dirinya untuk membentuk karakter puisinya. Kosa kata, diksi, metafora, dan dunia citra yang dipergunakan penyair hebat pasti sedikit banyak menginfiltrasi cara berpikir dan teknik mengemukakan sebuah realitas.
Sebagai penyair muda, SAQ juga tidak lepas dari idolanya. Dalam buku Senyummu Alamatku, saya melihat ada beberapa diksi yang menyerupai penyair yang dekat dengan Sujiwo Tejo, yakni Usman Arrumy. Beberapa puisi yang tertampilkan yang mendapat pengaruh Arrumy antara lain: Perempuanku (h. 20) dan Potret Sepasang Senyummu (h. 24).
Dua dari beberapa puisi SAQ memiliki daya ungkap layaknya Usman Arrumy. Meski frasa tidak ada yang sama dengan Arrumy, namun nafas Arrumy dalam bertutur mewarnai puisi SAQ. Menurut saya, ini bukan sesuatu yang prinsip, mengingat dari aspek usia antara SAQ dan Arrumy berada pada satu lingkaran atmosfir yang sama, seusia, dan mendapat lingkungan pendidikan yang sama, yakni pesantren. Jadi, sangat tidak beralasan jika saya menganggap bahwa karya-karya SAQ adalah reduplikasi karya Arrumy.
Barangkali, sebagai penyair pemula dan baru menghasilkan karya utuh sebuah buku kumpulan puisi ini, SAQ sebelumnya membaca karya-karya Sapardi Djoko Damono, Suminto A. Sayuti, Taufik Ismail, Sitok Srengenge, atau Timur Suprabahana, yang nafasnya sama. Sangat wajar apabila ada yang mengatakan bahwa SAQ adalah epigon dari Sapardi. Lihat saja karya puisi yang berjudul Harapan (h.55) pada bait keduanya, Aku Punguti Air Mata Perempuan (h. 48), Tangis Setiap Perempuan (h. 45), Laron-laron Kenangan (h. 13), Buku tentang Cinta (h. 37), dan sebagainya.
Diksi sebagai daya ungkap yang dipergunakan sangat mirip. Hampir sebagaian besar penyair muda mengidolakan Sapardi. Suasana kalem, kosong, lembut, datar, gelap, lunglai, galau, harapan, cinta, hasrat, dan impian kerap menjiwai diksi yang terlontarkan.
Hujan
Salah satu yang mendukung proses kreatif seorang penyair adalah hujan. Musim hujan kerap melahirkan karya-karya bagi penyair muda atau lama. Mungkin hujan memberikan banyak inspirasi bagi sesorang yang sedang jatuh hati untuk menuliskan ritual melamunnya dalam bentuk kata-kata yang sahdu, remang-remang, atau liar. Rintik hujan dan gerimis yang malu-malu memberikan sentuhan romantika yang unik bagi penyair untuk berkata-kata, menuliskan, atau memberikan rima.
Begitu pula dengan SAQ, ia yang masih muda sangat tergila-gila dengan hujan. Barangkali, semua syairnya dibuat pada musim hujan. Mengingat produktifitasnya yang luar biasa pada karya dihasilkan pada bulan November dan Desember. Akan sangat beda sekali jika ia menulis perempuan pada bulan Juli atau Agustus di mana musim kemarau yang mendampingi dirinya dalam mencipta puisi-puisi itu. Unsur romantika, damai, dan lembut sangat kentara dalam mengalunkan diksi yang ia tangkap dalam sekujur puisi-puisinya.
Lalu, SAQ mengkhususkan diri menulis tentang hujan. Ini barangkali dipersembahkan atas kebaikan hujan dalam menemani kelahiran puisi-puisinya. Puisi tentang hujan adalah Awal Nopember adalah Hujan (h. 21), Menjelang Musim Penghujan (h. 79), dan Definisi Hujan (h. 88-90). Meski dua puisi yang pertama, hujan menjadi setting perwajahan puisinya, namun justru kekuatannya SAQ dalam meromantisir keadaan karena menampilkan suasana hujan sebagai basis atmosfir puisinya. Puisi yang terakhir SAQ pun melibatkan hujan sebagai kekuatan yang dahsyat tentang relasi manusia dengan manusia serta penciptanya.
Editor : Setia Naka Andrian