“Saya pun setelah lulus SMK mulai mencoba mengirim karya beberapa media cetak dan online dan yang diterbitkan,” ungkap Ema. Beberapa proses itu di antaranya pada 2019, cerpen berjudul "Anak Nelayan yang Tak Suka Makan Ikan" dimuat halaman Zetizen koran Batam Pos, dan kata Ema, itu menjadi cerpen pertama yang dimuat media cetak. Pada 2020, cerpen berjudul "Memesan Takdir" dimuat media online Mbludus.co., cerpen berjudul "Kangen Bapak" dimuat Balai Aksara Koran Bajarmasin Post, dan menempatkan cerpen itu menjadi cerpen terakhir yang dimuat koran tersebut. Sebab selepasnya koran itu tidak menerbitkan cerpen.
Perjalanan proses penulisan lainnya pun telah dilalui Ema, yakni beberapa karya yang dimuat media masih pada 2020. Di antaranya cerpen sederhana berjudul "Berdamai dengan Keadaan" dimuat media online Pustaka Kabanti, cerpen berjudul "Atas Nama Kekuasaan Tertinggi" dimuat koran Tanjungpinang Pos. Kemudian pada 2021, cerpennya berjudul "Kendaraan Pilihan Ayah" menjadi juara 1 pada lomba Porsima UPGRIS 2021, cerpen berjudul "Lebaran Tahun Ini Ibu Pulang" menjadi juara 1 lomba menulis cerpen Mahasastra433 Hima PBSI UPGRIS.
“Untuk proses penulisan puisi, sebenarnya sejak sekolah SMK saya sudah mencoba menulis. Hanya saja puisinya masih terlalu mentah, belum menemukan ruh di dalamnya. Tapi saya pernah mengirim puisi untuk antologi dan lolos kurasi,” tutur Ema. Proses kreatif penulisan puisi tersebut di antaranya pada 2019, puisi berjudul “Anak-Anak Menyulam Luka Sejarah” dan “Pada Suatu Waktu”, lolos kurasi antologi Pasaman dalam Puisi. Pada 2020, puisi berjudul “Pantai Sakera”, “Angin Utara”, dan “Yang Terisa di Belakang”, lolos kurasi antologi puisi Jazirah 6, Festival Sastra Internasional Gunung Bintan.
“Saya telah menulis sejak kelas 1 SMK. Hanya saja saat itu menulisnya masih berupa rangkaian kata yang di dalamnya tidak ada ruh. Dan kemudian mulai belajar serius saat Peksimida Jawa Tengah 2022 ini. Proses tersebut membuat saya menyadari bahwa untuk melakukan sesuatu itu harus dengan ikhlas dan seperti yang dikatakan Pak Naka, bahwa menulis puisi itu merupakan ibadah tersendiri. Tapi selama proses ini pun ada suka dukanya. Senangnya, saya mendapat bacaan yang banyak. Dukanya, tidak tenang dan takut gagal,” ungkap Ema dengan begitu serius.
Editor : Khatim Laela