Sementara itu, Triman Laksana mengatakan bahwa novel Sireping Prahara membuat pembaca tidak bisa berhenti membalik lembaran halaman. Premis cerita yang sederhana bisa diewer-ewer ‘dipanjangkan’ sampai 220 halaman.
“Seperti fotografer yang mengandalkan angle, penulis menggunakan point of view untuk menangkap cerita sehingga pintar mengaduk-aduk perasaan pembaca. Tidak klise, sederhana, tetapi mempunyai intrik luar biasa. Saya kira judul Ontran-Ontran ing Desa Pandan Wangi lebih tidak mudah tertebak pembaca,” ujar Triman.
Irul S. Budianto dalam ulasannya mengatakan bahwa cerita asmara dalam novel Sireping Prahara terbungkus pernak-pernik budaya masyarakat. Novel tersebut juga mendobrak situasi saat ini dengan amanat penekanan untuk menjaga kehormatan wanita.
”Kasak-kusuk warga desa terhadap tokoh utama menggambarkan pepatah Jawa, sak dawa-dawane lurung, isih dawa gurung. Beberapa kesalahan penulisan tidak dapat menutupi kepiawaian penulis dalam membawa cerita. Bonus cerita dalam novel memberi efek lebih menarik dibandingkan jika dimasukan ke dalam inti cerita,” jelas Irul.
Editor : Setia Naka Andrian