Sejujurnya saya bukan paus sastra seperti H.B. Jassin yang fenomenal dan luar biasa kiprah kritik sastranya. Saya juga bukan A. Teeuw yang memiliki referensi sejuta buku yang bisa kokoh dalam memberikan kriitik dan ulasannya yang mantap. Tapi saya sosok manusia sederhana yang berbekal bacaan-bacaan sekunder yang mencoba membantu penyair-penyair pemula untuk membangun dirinya dan menemukan mutiara yang terkandung dalam bakat dan ketekunannya.
Penyair-penyair muda butuh dukungan orang lain untuk menemukan kesuksesannya. Puisi-puisi yang dihasilkan seseorang akan bersinar dan abadi manakala ada kerelaan diri orang lain untuk mengkritiknya, membedahnya, membanting, dan menyanjungnya ketika mengeksplorasi diksi puitisnya.
Mengkritik dan membanting bukan berarti pembunuhan karakter bagi masa depan puisinya. Justru ketika kritikus melakukan fungsinya yang seakan membunuh itu sebetulnya sedang proses pengujian sejauhmana mental dan karakter penyair terbentuk. Hanya saja banyak penyair muda yang kalah mental dan patah arang ketika puisi-puisinya mengalami proses pembullyan dan penghakiman seperti itu.
Hal ini sebetulnya wajar mengingat mentalitas dan kepribadian kita yang belum siap menerima itu semuanya. Kita teramat akrab dengan dunia sanjungan dan pujian. Jarang ada yang siap siaga menerima gempuran dan kritik pada diri kita. Secara ideologis kita terlahir sebagai bangsa yang sibuk menghargai dalam wujud penyanjungan bahkan pengkultusan.
Editor : Setia Naka Andrian